Jumat, 23 September 2011

HUKUM PIDANA

BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN TINDAK PIDANA EKONOMI
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, manusia tidak dapat melepaskan diri dari kegiatan ekonomi. Masalah pilihan atas barang kebutuhan yang terbatas merupakan prinsip yang dipelajari dalam ilmu ekonomi. Selanjutnya dalam kegiatan ekonomi tersebut diatur kaidah dan norma yang perlu diikuti dengan sanksi. Seperangkat peraturan yang mengatur kegiatan ekonomi tersebut adalah Hukum Ekonomi baik dibidang publik maupun privat.
Adanya berbagai macam sanksi dari penyimpangan dan pelaksanaan Hukum Ekonomi dapat berupa sanksi perdata dan atau pidana. Hal yang terakhir ini justru perlu disegarkan sebab banyak kalangan usaha merasakan bahwa kegiatan usahanya hanya dicakup dalam lingkungan hukum perdata atau hukum dagang, sedang banyak kegiatan atau bagian dari proses kegiatannya diancam sanksi pidana. Hal ini telah dicetaskan oleh Pemerintah dengan diterbitkannya UU No. 7 Darurat Tahun 1955 dan peraturan peruandangan selanjutnya yang biasa dikenal dengan Hukum Pidana Ekonomi[1].

1.  Pengertian Tindak Pidana Ekonomi Dalam Arti Sempit
Untuk memberikan definisi tindak pidana ekonomi seyogyanya diketahui dulu apa yang dimaksudkan dengan hukum pidana ekonomi itu. Menurut DR. A. Hamzah S.H. hukum pidana ekonomi merupakan  bagian dari hukum pidana yang merupakan corak-corak tersendiri, yaitu corak-corak ekonomi[2].
Pendapat lain ialah pendapat Brigjen Pol. Drs. H.A.K. Moch. Anwar, S.H., beliau mengatakan: meskipun telah dikeluarkan UU Darurat No.7 Tahun 1955 ini pun merumuskan tentang tindak pidana ekonomi tidak dapat ditemukan. Di dalam Pasal 1 Sub 1e hanya disebut secara limitatif, beberapa macam peraturan di bidang ekonomi yang memuat ketentuan pidana saja, sedangkan masih banyak peraturan-peraturan lain di bidang ekonomi yang juga memuat ketentuan pidana tidak termuat dalam UU tersebut[3].
Jadi tindak pidana di bidang ekonomi diartikan sebagai tindak pidana ekonomi yang bersumber pada Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, Peradilan Tindak Pidana Ekonomi yang ditetapkan sebagai UU dengan UU No. 1 Tahun 1961. Kemudian karena pengadilan tidak cukup untuk menyelesaikan permohonan-permohonan banding dalam perkara-perkara tindak pidana ekonomi maka ditetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 36 Tahun 1960 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.

2. Pengertian Tindak Pidana Ekonomi Dalam Arti Luas
Menurut Moch. Anwar Tindak Pidana Ekonomi dalam arti luas meliputi:
a.       Perbuatan pelanggaran ketentuan-ketentuan peraturan-peraturan di bidang ekonomi yang diancam dengan hukuman dan tidak termuat dalam UU Drt. No. 7 Tahun 1955
b.      Perbuatan pelanggaran beberapa ketentuan dalam KUH Pidana yang menyangkut serta dapat memberi pengaruh terhadap situasi dan perkembangan ekonomi.
Dalam kelompok a termasuk peratutan-peraturan di bidang ekonomi yang memuat hukuman-hukuman dan ada di luar UU Darurat No.7 Tahun 1955. Meskipun pelanggaran ketentuan-ketentuan itu tidak dinyatakan sebagai tindak pidana ekonomi, tetapi karena sifat dan bidangnya itu ekonomis, maka pelanggaran-pelanggaran itu tergolong kelompok tindak pidana di bidang ekonomi[4].
Peraturan-peraturan itu antara lain:
a.       UU No.7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan).
b.      Ordonansi Lautan Teritorial dan Lingkungan Lautan Larangan 1939 (S.1939-422) jis UU No. 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia dan UU No.1 Tahun 1973 tentang Landasan Kontinental Indonesia.
c.       UU tentang Autheur 1912. S.1912-600, kemudian ditambah dengan S.1913-323.
d.      UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
e.       UU No. 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong
f.       Ordonansi Tera 1949 (S.1949-175).
g.      Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 73/MPP/Kep/3/2000 tentang Ketentuan Kegiatan Usaha Penjualan Berjenjang.
h.      UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
i.        Peraturan Bank Indonesia No. 11/14/PBI/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No. 10/37/PBI/2008 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah.



B.     HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA EKONOMI
1.      Penyelundupan
Istilah penyelundupan sebenarnya bukan istilah yuridis, tetapi istilah sehari-hari. Pelanggaran ordonansi bea (Rechten Ordonnantie) sering disebut sebagai penyelundupan. Yang menyangkut kejahatan sebagaimana tersebut didalam Pasal 26b OB sering disebut sebagai penyelundupan fisik, karena pemasukan atau pengeluaran barang-barang ke dan dari Indonesia yang sama sekali tidak dilindungi oleh dokumen pabean.sedangkan yang disebut pelanggaran, artinya ada dokumen, tetapi tidak sesuai dengan jumlah,jenis,harga barang yang sebenarnya, sering disebut sebagai penyelundupan administratif. Menurut Pasal 7, 8, 9 dan 10 UU Devisa No. 1964, devisa yang diperoleh dengan ekspor barang-barang harus dijual kepada Bank Devisa dan apabila tidak, merupakan delik ekonomi dan diancam pidana.
Menteri Keuangan menyebutkan, Pasal 102 UU Nomor 10 tahun 1995 menyatakan: "barang siapa mengimpor atau mengekspor atau mencoba mengimpor atau mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan UU ini dipidana karena melakukan penyelundupan[5].

2.   Perbankkan
Dalam pengertian sempit, kejahatan dibidang perbankkan tidak termasuk kedalam hukum pidan ekonomi kecuali delik devisa. Tetapi dalam pengertian luas, atau apa yang biasa disebut economic crime, selain delik ekonomi seperti tercantum dalam uu tindak pidana ekonomi, juga termasuk delik perbankkan, monopoli, fraud, pemalsuan merk dan lain-lain.
Dalam dunia perbankan dewasa ini terjadi modus kejahatan baru, yaitu melalui komputer. Dengan keahlian computer, dapat terjadi kebocoran rahasia, pemindahan rekening selama waktu tertentu, pembocoran program dan sebagainya. Kejahatan perbankkan komputer ini dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi pengusaha. Sedangkan sebagaimana diketahui belum terdapat peraturan pidana di bidang komputer di Indonesia.
Begitu pula UU Pokok Perbankkan yang mengandung sanksi pidana bagi mereka yang membuka Bank gelap, masih dirahasiakan keuangannya, misalnya belum diterapkan terhadap mereka yang melakukan usaha rentenir. Dalam UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan terdapat tiga belas macam tindak pidana yang diatur mulai dari Pasal 46 sampai dengan Pasal 50A. Ketiga belas tindak pidana itu dapat digolongkan menjadi empat macam, yaitu:
a.       Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan diatur dalam Pasal 46;
b.      Tindak pidana yang berkaitan dengan rahasia bank, diatur dalam Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 47A;
c.       Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan bank yang diatur dalam Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2);
d.      Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank diatur dalam Pasal 49 ayat (1) huruf a, b, dan c, ayat (2) huruf a dan b, Pasal 50 serta Pasal 50A.

3.      Korupsi
Sering pula delik ekonomi tumpang tindih dengan peraturan tindak pidana korupsi. Untuk tidak membingungkan, maka perlu ada garis tegas sebagai pemisah antara delik ekonomi dengan delik korupsi.
Merajalelanya korupsi terutama suap-menyuap dan pemerasan jabatan akan sangat mengganggu kehidupan berusaha yang sehat, beberapa biaya yang tidak perlu akan dipikul oleh pengusaha, yang pada gilirannya akan dipikul pula oleh konsumen.
Seraca harfiah, korupsi memiliki arti yang sangan luas, yaitu:
a.       Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain;
b.      Korupsi: busuk, rusak, suka memaki barang atau uang yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya ntuk kepentingan pribadi)[6].

4.   Pemalsuan
Sebagaimana telah dijelaskan di muka dalam pengertian economy crime, termasuk pula pemalsuan seperti pemalsuan kontrak, pemalsuan merk, kejahatan-kejahatan pada waktu penutupan kontrak, notaries, dan lain-lain. Peraturan pidana mengenai ini belum dijelaskan dan jika ada peraturannya, dirasakan terlalu ringan ancaman pidananya.

5.      Cek Kosong
Dengan dihapuskannya UU cek kosong termasuk delik ekonomi, maka dirasakan terjadinya vakum di bidang pidana terhadap pelaku cek kosong ini. Adakalanya mereka dituntut sebagai pelaku penipuan, tetapi unsur penipuan tidak selalu sama dengan perbuatan penarikan cek kosong, sehingga dirasakan perlu adanya penegasan dalam masalah ini.
Akan tetapi masih terdapat peraturan UU No. 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong yang dalam Pasal 4 mengenai penambahan UU No. 7 Drt Tahun 1955 yang berbunyai: Pasal 1 sub 1e Undang-Undang No.7 Drt Tahun 1955, sebagaimana telah dirobah dan ditambah, terakhir dengan Undang-Undang No.1 Prp Tahun 1960, ditambah dengan kalimat yang berbunyi sebagai berikut:
            “Undang-Undang No.17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong (Lembaran Negara Tahun 1964 No.101, Tambahan Lembaran Negara No.2692)."

6.      Perpajakan
Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang terpenting. Sedangkan keuangan atau pendapatan negara itu merupakan nafas dalam menjalankan administrasi pemerintahan dan pembangunan. Di Indonesia peraturan di bidang perpajakan sangat ringan ancaman pidananya, sehingga dirasakan kurang  memadai. Bahkan dalam perjalanannya, UU Perpajakan baru ada di Indonesia sekitar 40 tahun setelah merdeka.

7.      Perindustrian
Dalam konsideran Undang-Undang  No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian dikatakan: “Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas dan untuk memberikan dasar yang kokoh bagi peraturan, pembinaan, dan pengembangan industri secara mantap dan berkesinambungan serta belum adanya perangkat hukum yang secara menyeluruh mampu melandasinya, perlu dibentuk undang-undang perindustrian”. Yang berkaitan dengan economc crime ialah ketentuan dalam Pasal 7 yang berbunyi :
Pemerintah melakukan pengaturan, pembinaan dan pengembangan terhadap industri untuk:
a.       Mewujudkan perkembangan industri yang lebih baik, secara sehat, berhasil dan berguna;
b.      Mengembangkan persaingan yang baik dan sehat serta mencegah persaingan yang tidak jujur;
c.       Mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh suatu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat;
Sedangkan ancaman pidananya berkaitan dengan izin usaha industri dan kewajiban membuat laporan kepada pemerintah. Yang harus dicatat adalah Undang-Undang Perindustrian ini mencabut Bedrifsreglementerings ordonnantie tahun 1934 dibidang industri, yang sebelumnyan menjadi bagian UU Tindak Pidana Ekonomi.

C.    KETENTUAN PIDANA TINDAK PIDANA EKONOMI
Dalam Pasal 6 Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955, tindak pidana ekonomi terdapat ketentuan bahwa: “Barang-siapa melakukan suatu tindak-pidana ekonomi:
(1)    Dalam hal kejahatan sekadar yang mengenai tindak-pidana ekonomi termasuk dalam Pasal 1 sub 1 e dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun dan hukuman denda setinggi-tingginya lima ratus ribu rupiah, atau dengan salah satu dari hukuman-pidana itu;
(2)    Dalam hal kejahatan sekadar yang mengenai tindak-pidana ekonomi termasuk dalam Pasal 1 sub 2e dan berdasar sub 3e dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun dan hukuman denda setinggi-tingginya seratus ribu rupiah atau dengan salah satu dari hukuman-pidana itu;
(3)    Dalam hal pelanggaran sekadar yang mengenai tindak-pidana ekonomi tersebut dalam Pasal 1 sub 1e dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun dan hukuman denda setinggi-tingginya seratus ribu rupiah, atau dengan salah satu dari hukuman-pidana itu;
(4)    Dalam hal pelanggaran yang berdasarkan Pasal 1 sub 3e dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan dan hukuman denda setinggi-tingginya lima puluh ribu rupiah, atau dengan salah satu dari hukuman-pidana itu.
Selanjutnya, jika harga barang, dengan mana atau mengenai mana tindak-pidana ekonomi itu dilakukan, atau yang diperoleh-baik seluruhnya, maupun sebagian-karena tindak-pidana ekonomi itu, lebih tinggi daripada seperempat bagian hukuman denda tertinggi yang disebut dalam ayat 1 sub a sampai dengan d, hukuman denda itu dapat ditentukan setinggi-tingginya empat kali harga barang itu.
Selain itu dapat dijatuhkan juga hukuman-hukuman tersebut dalam Pasal 7 ayat 1 atau tindakan tata-tertib tersebut dalam Pasal 8, dengan tidak mengurangi dalam hal-hal yang memungkinkannya dijatuhkannya tindakan tata-tertib yang ditentukan dalam peraturan lain.
Dalam Pasal 7 terdapat hukum tambahan yaitu :
(1) Pencabutan hak-hak tersebut dalam Pasal 35 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk waktu sekurang-kurangnya enam bulan dan selama-lamanya enam tahun lebih lama dari hukuman kawalan atau dalam hal dijatuhkan hukuman denda sekurang-kurangnya enam bulan dan selama-lamanya enam tahun;
(2)  Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan si-terhukum, di mana tindak-pidana ekonomi dilakukan, untuk waktu selama-lamanya satu tahun;
(3)  Perampasan barang-barang-tak-tetap yang berwujud dan yang tak berwujud, dengan mana atau mengenai mana tindak-pidana ekonomi itu dilakukan, atau yang seluruhnya atau sebagian diperolehnva dengan tindak-pidana ekonomi itu, begitu pula harga-lawan barang-barang itu yang menggantikan barang-barang itu, tak perduli apakah barang-barang atau harga-lawan itu kepunyaan si-terhukum atau bukan;
(4)  Perampasan barang-barang-tak-tetap yang berwujud dan yang tak berwujud, yang termasuk perusahaan si-terhukum, di mana tindak-pidan ekonomi itu dilakukan, begitu pula harga-lawan barang-barang itu yang menggantikan barang-barang itu, tak perduli apakah barang atau harga-lawan itu kepunyaan si-terhukum atau bukan, akan tetapi hanya sekadar barang-barang itu sejenis dan, mengenai tindak-pidananya, bersangkutan dengan barang-barang yang dapat dirampas menurut ketentuan tersebut sub c di atas;
(5)  Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan kepada si-terhukum oleh Pemerintah berhubung dengan perusahaannya, untuk waktu selama-lamanya dua tahun;
(6)  Pengumuman putusan hakim.
Selain itu dilakukannya perampasan barang-barang yang bukan kepunyaan si-terhukum tidak dijatuhkan, sekadar hak-hak pihak ketiga dengan itikad baik akan terganggu. Dalam hal perampasan barang-barang, maka hakim dapat memerintahkan, bahwa hasilnya seluruhnya atau sebagian akan diberikan kepada si-terhukum.
Selain hukuman tambahan ada juga hukuman tata tertib yang tercantum dalam Pasal 8 yang berisi :
a.   Penempatan perusahaan si-terhukum, di mana dilakukan suatu tindak pidana ekonomi di bawah pengampunan untuk waktu selama-lamanya tiga tahun, dalam hal tindak-pidana ekonomi itu adalah kejahatan dan dalam hal tindak-pidana ekonomi itu adalah pelanggaran untuk waktu selama-lamanya dua tahun;
b.   Mewajibkan pembayaran uang-jaminan sebanyak-banyaknya seratus ribu rupiah dan untuk waktu selama-lamanya tiga tahun dalam hal tindak-pidana ekonomi adalah kejahatan; dalam hal tindak-pidana ekonomi adalah pelanggaran maka uang-jaminan itu adalah sebanyak-banyaknya lima puluh ribu rupiah untuk waktu selama-lamanya oleh si-terhukum;
c.   Mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua atas biaya si-terhukum, sekadar hakim tidak menentukan lain.
Tindakan tata tertib akan diberlakukan sembari diterapkan dengan hukum pidana kecuali Pasal 44 KUHP diberlakukan sehingga tindakan tata tertib tidak bisa dilakukan.
Mengenai sanksi pidana sehubungan dengan perubahan-perubahan dari Undang-Undang No. 7 Drt. 1955 dengan Undang-Undang No. 8 Drt. 1958, Undang-Undang No. 5 Pnps. 1959 menyebabkan sanksi-sanksi pidana yang tercantum dalam UU No. 7 Drt. 1955 diperberat. Adapun perubahan-perbuhan termaksud adalah sebagai berikut:[7]
1.      Ketentuan dalam Pasal 6 ayat (1) sub a UU No. 7 Drt. 1955 tersebut mengenai kata-kata “lima ratus ribu” diubah menjadi “satu juta” dengan UU No. 8 Drt. 1958.
2.      Dengan Pasal 2 dari UU No. 5 Pnps. 1959; Barangsiapa melakukan tindak pidana ekonomi sebagaimana termaksud dalam UU No. 7 Drt. 1955, tindak pidana tersebut dalam peraturan pemberantasan tindak pidana korupsi.
3.      Dengan Pasal 1 ayat (1) UU No. 21/Prp/1959 Pelanggaran Tindak Pidana Ekonomi seperti dimaksud dalam UU No. 7 Drt. 1955 sebagaimana telah diubah dan ditambah UU No. 8 Drt. 1958 dihukum dengan hukuman penjara atau hukuman selama-lamanya seperti ditetapkan dalam UU Darurat itu dan hukuman denda setinggi-tingginya 30 kali jumlah yang ditetapkan dalam UU tersebut.
Selain adanya perubahan sanksi-sanksi pidana tersebut maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik ancaman pidana tindak pidana ekonomi, yaitu:
1.   Terhadap suatu tindak pidana ekonomi yang tidak menimbulkan kekacauan perekonomian dalam masyarakat, ancaman maksimum menjadi kumulatif, yaitu:
      Hukuman penjara atau kurungan seperti tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 7 Drt. 1955 jo UU No. 8 Drt. 1958 jo Pasal 1 ayat (1) UU No. 21 Prps. 1959, dengan maksimum 4 kali harga barang dengan mana atau mengenai mana tindak pidana ekonomi itu dilakukan atau diperoleh sebagian atau seluruhnya dari tindak pidana ekonomi, lebih tinggi dari seperempat bagian hukuman denda tertinggi.
2.   Terhadap suatu tindak pidana ekonomi yang dapat menimbulkan kekacauan perekonomian dalam masyarakat, ancaman hukuman maksimum menjadi kumulatif, yaitu:
      Hukuman penjara selama-lamanya 20 tahun penjara, seumur hidup atau hukuman mati dan denda 30 kali jumlah yang ditetapkan dalam UU No. 7 Drt. 1955 jo UU No. 8 Drt. 1958 jo Pasal 1 ayat (1) UU No. 21 Prps. 1959 dengan maksimum 4 kali harga barang jika barang dengan mana tindak pidana itu dilakukan atau yang diperoleh sebagian atau seluruhnya dari tindak pidana ekonomi, lebih tinggi dari seperempat bagian hukuman denda tertinggi.
3.   Terhadap tindak pidana ekonomi yang dilakukan seseorang yang mengetahui atau patut menduga bahwa tindak pidana itu akan menghalang-halangi program pemerintah, berlaku sanksi-sanksi pidana yang ditetapkan UU No. 5 Pnps. 1959, yaitu hukuman penjara sekurang-kurangnya satu tahun dan selama-lamanya 20 tahun, hukuman seumur hidup atau hukuman mati.

D.    UNSUR TINDAK PIDANA EKONOMI
Unsur-unsur dari tindak pidana ekonomi antara lain:
1.   Setiap orang yaitu dapat orang perseorangan (pengusaha) atau korporasi;
2.   Semua pelanggaran yang berkenaan dengan pelanggaran aturan dalam bidang ekonomi.
3.   Penyidik tindak pidana ekonomi yang terdiri atas:
      a.   Polisi (Pasal 6 KUHAP)
      b.   Jaksa yaitu Penuntut Umum (Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo UU No. 7 Darurat Tahun 1955)
      c.   Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu (Pasal 6 KUHAP) seperti Bea dan Cukai.
4.   Sanksi pidana yang sehubungan dengan perubahan-perubahan dari Undang-Undang No. 7 Drt. 1955 dengan Undang-Undang No. 8 Drt. 1958, Undang-Undang No. 5 Pnps. 1959 dan menyebabkan sanksi-sanksi pidana yang tercantum dalam UU No. 7 Drt. 1955 diperberat.
















BAB   III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Tindak pidana ekonomi adalah perbuatan pelanggaran ketentuan-ketentuan peraturan dalam bidang ekonomi, yang diancam dengan hukuman dan termuat dalam Undang-Undang Darurat No.7 Tahun 1955 jo Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1958 jo Undang-Undang No. 5 Pnps. 1959. Jadi tindak pidana ekonomi menyangkut semua pelanggaran yang berkenaan dengan pelanggaran aturan dalam bidang ekonomi. Sedangkan dapat disimpulkan juga bahwa subjek tindak pidana ekonomi dalam Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 ini yaitu perseorangan dan korporasi.
Hukum pidana ekonomi  yang menyangkut dunia usaha meliputi aktivitas penyelundupan, aspek perbankan, korupsi, pemalsuan, cek kosong, perpajakan, dan perindustrian.
Semua ketentuan pidana tindak pidana ekonomi telah tercantum dalam Pasal 6 dan Pasal 7  serta juga selain pasal-pasal tadi ada juga pasal mengenai tata tertib yang tertulis dalam Pasal 8 Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955. Tindakan tata tertib yang disebut dalam Pasal 8 dijatuhkan bersama-sama dengan hukuman pidana kecuali dalam hal diberlakukan Pasal 44 KUHP dengan pengertian bahwa dalam hal itu tidak dapat dijatuhkan tindakan tata tertib tersebut dalam Pasal 8 sub b.
Mengenai sanksi pidana sehubungan dengan perubahan-perubahan dari Undang-Undang No. 7 Drt. 1955 dengan Undang-Undang No. 8 Drt. 1958, Undang-Undang No. 5 Pnps. 1959 menyebabkan sanksi-sanksi pidana yang tercantum dalam UU No. 7 Drt. 1955 diperberat

B.  SARAN
Makalah  ini mungkin masih banyak hal-hal yang belum sesuai menganai isi ataupun struktur menulisannya, oleh karena itu penulis sangat membutuhkan saran dan kritik yang tentunya sangat membangun bagi penulis untuk kedepannya bisa lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang, Purnomo. 1994. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta Timur: Ghalia Indonesia.

Hartanti, Evi. 2007. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.

Sumantoro. 1990. Aspek-Aspek Pidana Dalam Bidang Ekonomi. Jakarta Timur: Ghalia Indonesia.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1960 tentang Penambahan UU Darurat No. 7 Tahun 1955 yang ditambah dengan UU No. 8 Tahun 1958.

Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.


[1] Dr. Sumantoro. Aspek-Aspek Pidana di Bidang Ekonomi, (Jakarta Timur: Ghalia Indonesia. 1990) hlm. 9.
[2] Ibid. hlm. 53.
[3] Dr. Sumantoro. Aspek-Aspek Pidana di Bidang Ekonomi, (Jakarta Timur: Ghalia Indonesia. 1990) hlm. 54.
[4] Dr. Sumantoro. Aspek-Aspek Pidana di Bidang Ekonomi, (Jakarta Timur: Ghalia Indonesia. 1990) hlm. 55
[5] Kapanlagi.com. Menkeu: Rumusan Penyelundupan dalam UU Kepabeanan Tidak Tegas. Kamis, 17 November 2005.
[6] Evi Hartanti, S.H. Tindak Pidana Korupsi.  Cet. 1. (Jakarta: Sinar Grafika. 2007). hlm. 9.
[7] Dr. Sumantoro. Aspek-Aspek Pidana di Bidang Ekonomi, (Jakarta Timur: Ghalia Indonesia. 1990) hlm. 114.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar